Jumat, 13 April 2012

Periklanan

Pengertian Periklanan dan fungsinya



Periklanan adalah suatu proses komunikasi massa yang melibatkan sponsor tertentu, yakni si pemasang iklan (pengiklan), yang membayar jasa sebuah mediamassa atas penyiaran iklannya.manfaat periklanan adalah

Untuk Menginformasikan : 
Memberitahukan pasar tentang suaru produk baru
Menjelaskan pelayanan yang tersedia
Mengusulkan kegunaan baru suatu produk
Mengoreksi kesan yang salah
Memberitahukan pasar tentang perubahan harga
Mengurangi kecemasan diri
Menjelaskan cara kerja suatu produk
Membangun citra perusahaan 
Untuk Membujuk :
Membentuk preferensi merek
Mendorong ahli merek
Mengubah persepsi pembeli tentang atribut merek
Membujuk pembeli untuk membeli sekarang
Membujuk pembeli untuk menerima kunjungan penjualan 

Untuk Mengingatkan :
Mengingatkan pembeli bahwa produk tersebut mungkin akan dibutuhkan di kemudian hari
Mengingatkan pembeli dimana dapat membelinya
Membuat pembeli tetap ingat produk itu walau tidak sedang musimnya
Mempertahankan kesadaran produk.

untuk dapat meningkatkan keputusan konsumen dalam membeli maka disarankan sebagai berikut:
1. Pihak manejemen hendaknya dapat memilih media iklan yang efektif, yaitu melalui media iklan televisi.
2. Melakukan perbaikan atau penyempurnaan terhadap iklan melalui media Surat Kabar, Radio dan Spanduk, atau menghilangkan atau tidak lagi memasang iklan melalui media Surat Kabar, Radio dan Papan Reklame tersebut.
3. Perlu adanya kajian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain selain media iklan yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap keputusan pembelian suatu produk.
Periklanan atau Promosi (Advertising) adalah suatu bentuk komunikasi yang ditujukan untuk mengajak orang yang melihat, membaca atau mendengarnya untuk melakukan sesuatu. Promosi biasanya mencakup nama prodak atau layanan dan bagaimana prodak dan layanan itu bisa bermanfaat bagi pembeli, untuk mengajak calon pembeli potensial untuk membeli atau mengkonsumsi prodak tertentu. Promosi atau pengiklanan modern berkembang bersamaan dengan berkembangnya produksi masal pada pertengahan abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Para pemasang iklan komersial sering mencari cara untuk meninkatkan konsumsi produk atau pelayanan mereka dengan cara pelabelan, dengan cara pengulangan gambar atau nama produk atau layanan mereka dengan tujuan untuk mengkaitkan kualitas produk dengan labelnya dalam ingatan pembeli. Berbagai macan media dapat digunakan untuk mengirimkan iklan meliputi tradisional media seperti Koran, majalah, radio, televisi, papan pengumunan dan surat secara langsung. Iklan bisa saja dilakukan oleh biro jasa periklanan atas nama perusahaan atau organisasi lain.
Organisasi-organisasi yang mengeluarkan uang untuk jasa periklanan selain produsen produk barang jasa juga bisa meliputi partai politik, kelompok-kelompok hobi, organisasi-organisasi keagamaan dan badan-badan pemerintah.Sedangkan untuk organisasi-organisasi sosial non profit bergantung pada model persuasi atau promosi geratis, seperti iklan layanan masyarakat.
Uang yang dikeluarkan untuk jasa periklanan telah berkembang beberapa tahun terahir. Pada tahun 2007, pengeluaran untuk periklanan diperkirakan lebih dari $150 miliar di Amerika Serikat dan sekitar $385 miliar diseluruh dunia dan terahir mencapai $450 miliar pada tahun 2010.





Pengertian iklan secara komprehensif adalah “semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu. periklanan adalah segala bentuk penyajian non personal, promosi dan ide, barang ataupun jasa oleh sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. periklanan merupakan suatu proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak pembuat iklan. Periklanan merupakan satu dari empat alat penting yang digunakan oleh perusahaan untuk memperlancar komunikasi persuasif terhadap pembelian dan masyarakat yang ditargetkan. Kemudian juga definisi iklan dan periklanan yang dipopulerkan oleh AMA (American Marketing Association) adalah iklan sebagai semua bentuk bayaran untuk mengimplementasikan dan mempromosikan ide, barang atau jasa secara non personal oleh sponsor yang jelas, sedangkan periklanan adalah seluruh proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan iklan
Iklan ini juga merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh PT.Rambang dalam rangka memasarkan produk-produknya. Adapun defenisi dari Iklan menurut Batra, Rajeev, Jhon.G Myers, and David A. Aaker. (1996) adalah “Penyampaian informasi dari penjual kepada pembeli untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku”. Iklan merupakan bagian dari komunikasi yang terdiri dari berbagai kegiatan untuk memberikan informasi dari komunikasi kepada pasar sasaran akan adanya suatu produk baik berupa barang, jasa dan ide. Berhasil tidaknya Iklan yang dilakukan tergantung dari media mana yang digunakan untuk mencapai sasaran, oleh karenanya masalah pemilihan media iklan tidak hanya didasarkan pada perkiraan saja, melainkan harus diperhatikan sifat-sifat iklan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kegiatan iklan yang dilakukan.




Bisnis affiliasi

Pengertian bisnis affiliasi

Bisnis Affiliasi adalah kita mempromosikan produk atau layanan milik orang lain, dan apabila terjadi transaksi sesuai dengan aturan yang disepakati, maka kita akan mendapat komisi. Pada awalnya, bisnis affiliasi memang terbatas pada kegiatan mempromosikan barang dagangan milik orang lain, dan apabila ada orang yang membeli melalui referensi kita, maka kita akan mendapatkan ‘tips’ dari transaksi yang terjadi. Namun dengan pesatnya perkembangan bisnis internet, maka bisnis affiliasi turut berevolusi sehingga tidak lagi terbatas pada proses menjual saja.

Bisnis Afiliasi Indonesia Terbaik

Bagaimana Anda Bisa Menghasilkan Uang Saku Tambahan dari Situs Web, Blog, atau E-mail Sendiri Hanya dengan Bergabung dalam Program Afiliasi Indonesia Terbaik Saat Ini?

Bisnis Afiliasi Indonesia

Program afiliasi kami berbasis 'Pay Per Sale' dan tidak memerlukan uang pendaftaran apapun, setiap orang yang ingin ikut memasarkan secara online produk-produk Deherba.com diundang untuk bergabung. Bisnis afiliasi Deherba.Com adalah salah satu program afiliasi terbaik Indonesia saat ini!

Kami akan memberikan komisi yang cukup besar untuk setiap penjualan bagi setiap member aktif. Saat Anda sudah menjadi member bisnis afiliasi kami, Anda boleh turut serta mempromosikan produk-produk herbal kami kepada orang lain melalui link bisnis afiliasi yang akan kami berikan kepada Anda.

Promosikan link bisnis afiliasi tersebut dan jika ada orang memutuskan untuk berbelanja melalui link tersebut, maka Anda akan mendapatkan komisi dari kami!
Jika Anda sudah mempunyai website atau blog, tingggal memasang banner atau artikel dari kami. Jika Anda hanya mempunyai alamat e-mail, sebarkan artikel-artikel kesehatan dari kami yang berisi link bisnis afiliasi Anda, ajak teman-teman Anda juga ikut menyebarkan artikel-artikel tersebut.

Dan  tinggal tunggu saja rupiah mengalir ke rekening Bank Anda..! Semuanya berjalan secara otomatis! Keuntungan bisa Anda dapatkan tanpa perlu memikirkan cara pengiriman produk, menjelaskan produk, dan mengurus transaksi pembayaran, karena itu semua kami yang urus! Anda cukup fokus memasarkan saja.
Untuk setiap penjualan produk ataupun paket produk, maka Anda akan mendapatkan komisi sebesar 10% dari nilai transaksi. Misalnya saja, bila ada konsumen yang membeli paket produk seharga Rp. 500.000,- (Setelah dipotong PPN) melalui link afiliasi Anda, maka Anda akan mendapatkan komisi sebesar Rp. 50.000,-,

Anda akan terus mendapatkan komisi tersebut setiap kali orang yang sama membeli produk melalui link bisnis afiliasi milik Anda.
Sekarang coba hitung jika dalam sebulan Anda dapat menjual paket yang sama 20 kali, maka Anda akan mendapat komisi 1 juta rupiah setiap bulan, hanya dengan memasang banner pada situs web milik Anda!
Catatan: Komisi kami berikan setiap tanggal 25 bulan berikutnya. Besarnya komisi tergantung dari berapa banyak produk yang Anda jual. Semakin banyak penjualan semakin besar pula komisi bulanan Anda.
Ayo segera daftar dan mulai dapatkan penghasilan tambahan dari bisnis afiliasi Indonesia terbaik saat ini!





Program Afiliasi

Ayo, dapatkan penghasilan tambahan setiap bulan langsung Ke rekening pribadi Anda!!!

 

sumber : http://ardyarinigarin.blogspot.com/2010/10/pengertian-bisnis-affiliasi.html

              http://www.deherba.com/bisnis-afiliasi-indonesia-terbaik.html

 

 

Selasa, 03 April 2012

Ushul Fiqh (Ta arrud al-adillah)




BAB I
PENDAHULUAN

            1.1 Latar Belakang Masalah
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu beliau juga memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadits atau as-sunnah.
Dalam perkembangan Islam yang mencakup seluruh dimensinya, dihadapkan pula dengan kejadian-kejadian hukum yang memerlukan suatu ketetapan-ketetapan hukum baru. Dalam hal ini, para ulama mujtahid berusaha untuk merumuskan kaidah-kaidah atau aturan permainan yang menjadi pedoman untuk merumuskan hukum berdasar dari sumber-sumbernya. Kesemuanya ini merupakan topik pembicaraan dalam ushul fiqh.
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumber aslinya,Alqur’an dan Sunnah.Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah,prinsip-prinsip umum syari’at islam,cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.


1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana tinjauan pengertian Ta’arrud al-‘Adillah dan Metode
Penyelesaiannya  ?


1.3  Tujuan Rumusan Masalah
Mengetahui Ta’arud al-Adillah dan penyelesaiannya.

  
                                                               BAB II
                                                        PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arrud al-‘Adillah.

Ta’arrud al-adilah ditinjau dari aspek etimologi, ta’rud (تعارض ) berarti pertentangan dan adillah ( الادلة ) adalah jama’ dari dalil ( الدليل ) yang berarti alasan,argumen,dan dalil. Persoalan ta’rud al-adillah dibahas para ulama’ dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.[1]

Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqih tentang ta’rud al-adillah adalah :
  1. Imam Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”
  2. Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
  3. Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
Oleh sebab itu, menurut Imam Al-Syatibi, pertentangan itu bersifat semu, biasa terjadi dalam dalil yang qoth’i (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat.

Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni.[2]


B.Metode Penyelesaian Ta’arudul Adillah

Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,maka ia dapat menggunakan cara untuk berusaha untuk menyelesaikannya. Cara itu dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :


1. Nasakh
a. Pengertian Nasakh
Dari segi lughat (bahasa) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.[3] Adapun menurut ulama Ushul Fiqh, definisi nasakh yaitu:
بيان انتهاء امد حكم شرعي بطريق شرعيّ متراخ عنه
Artinya: "Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar'i; yang datang kemudian".
رفع حكم شرعيّ عن المكلف بحكم شرعيّ


Artinya: "Pembatalan hukum syara' yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara' yang datang kemudian".
Para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan apabila memenuhi kriteria berikut:
·           Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara' yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
·           Yang dibatalkan adalah syara' yang disebut mansukh (yang dihapus).
·           Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut nasakh.
b. Rukun Nasakh
Rukun Nasakh itu ada empat, pertama ; Adat an-nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Kedua, Nasikh adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Ketiga, Mansukh, yaitu hukum yang dibatakan, dihapuskan, atau dipindahkan. Keempat, Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
c. Hikmah Nasakh
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, di antara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar'i maka datang tahap berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.
d. Perbedaan Nasakh dengan Taksis
Nasakh dengan Taksis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum, untuk mengkhususkan sebagian kandungan suatu lafadz. Hanya saja, taksis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.

Adapun perbedaan di antara keduanya adalah; taksis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nash dan yang sebelumnya telah berlaku.
e. Syarat-syarat Nasakh
Keberadaan nasakh dalam al-Quran harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak. Di antara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
·        Yang dibatalkan adalah hukum syara'
·        Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara'
·        Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
·        Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.

Adapun syarat-syarat yang diperselisihkan, antara lain: Mu'tazilah dan sebagian Hanafiyah menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilakukan atau syara' memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, menunjukkan bahwa hukum itu baik. Sebaliknya, jika belum sempat dilaksanakan, berarti hukum itu buruk.

Jumhur membantah pendapat di atas dengan alasan, kebaikan suatu hukum itu tidak hanya dinilai dari akibat perbuatan tersebut. Namun, ada yang lebih penting dari itu, yakni kepatuhan kepada Allah. Secara fakta telah banyak hukum yang dinasakh sebelum dilaksanakan, seperti perintah shalat pada waktu Isra Miraj Nabi yang mula-mula diperintahkan 50 kali, tetapi belum sempat perintah tersebut dilaksanakan sudah dinasakh 5 kali saja.

   Mu'tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara' bukan oleh akal.

Menurut Imam Syafi'i, al-Quran tidak bisa dinasakh, kecuali dengan al-Quran, dan hadis mutawatir juga tidak dinasakh, kecuali dengan hadis mutawatir pula. Hal itu dibantah oleh jumhur bahwa al-Quran bisa dinasakh dengan hadis mutawatir dan hadis mutawatir pun bisa dinasakh dengan al-Quran.
Menurut Jumhur, qiyas tidak bisa menjadi nasikh maupun mansukh. Sebaliknya Tajudin, ahli ushul fiqh dari kalangan syafi'iyah, berpendapat bahwa qiyas bisa menasakh al-Quran, karena qiyas berasal dari nash. Namun, dia tidak memberikan contohnya.
Menurut jumhur ijma tidak boleh menjadi nasikh maupun mansukh, dengan alasan bahwa ijma itu baru bisa dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan nasakh. Sedangkan bila ijma dimansukh berarti membatalkan landasan ijma itu sendiri. Namun, menurut Imam Al-Badzdawi, ijma itu boleh dinasakh dengan ijma lainnya yang datang kemudian.
f. Macam-macam nasakh
Para ulama membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaranya:
Nasakh yang tidak ada gantinya.
Nasakh yang ada penggantinya; namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat.
Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku.
Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada,
Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus.

Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh. Jumhur lebih memerinci hukum tambahan sebagai berikut :




·        Apabila hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, tidak dinamakan nasaikh.
·        Apabila hukum yang dinasakh berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh.
·        Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula.

Menurut Jumhur hal ini tidak dinamakan nasakh. Akan tetapi menurut Hanafiyah ini termasuk nasakh karena hukum asalnya telah berubah. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari'atkan. Menurut kesepakatan ulama dikatakan nasakh, namun mereka tidak memberikan contohnya.
g. Cara mengetahui nasikh dan mansukh
Untuk mengetahui tentang nasikh dan mansukh, antara lain melalui hal-hal di bawah ini :
Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
Dalam suatu nasakh, terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu.
Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis, yang menyatakan satu dahis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.


2. Tarjih
a. Pengertian Tajrih
Secara etimologi, tarjih berarti menguatkan, sedangkan secara terminologi yaitu :
تقوية إحدى الإمارتين على الأخرى ليعمل بها
Artinya: "Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut"
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajah (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.[4]

b. Cara pentarjihan
1. Dari segi sanad
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui 42 cara, di antaranya dikelompokkan dalam bagian berikut :
Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Pentarjihan melalui cara menerima hadis dari rasul

2. Dari segi matan
Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, antara lain:
Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti disbanding mufassar.
Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran.

3. Dari segi hukum atau kandungan hukum
Menurut Asy-Syaukani ada beberapa cara, yaitu:
Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan. Berdasarkan hadis Rasulullah:
مااجتمع الحلال والحرام الاغلب الحرام
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan."
 Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang teks yang bersifat menetapkan dengan teks yang bersifat meniadakan.
Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama, menghindarkan terpidana dari hukuman.

Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.

4. Tarjih menggunakan factor (dalil) lain di luar nash
Menurut Asy-Syaukani diantara caranya adalah :
·        Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas, dan lain-lain.
·        Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Quran dan penafsirannya.
·        Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
·        Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
·        Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.

5. Dari segi hukum asal
Menurut Asy-Syaukani pentarjihan qiyas dari hukum asal bisa menggunakan 16 cara, di antaranya :
·        Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath'I dari yang zhanni.
·        Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh, sedangkan ijma tidak.
·        Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
·        Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
·        Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
·        Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.

 6. Dari segi hukum cabang
Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qath'I dari yang hanya diketahui secara zhanni.
Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.

7. Dari segi illat
Pentarjihan ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Pentarjihan dari segi cara penetapan illat, antara lain:
·        Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
·        Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara illat dengan hukum.
·        Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari sifat yang ditetapkan melalui munasabah, karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
b. Pentarjihan dari sifat
·        Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relative
·        Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja.
·        Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjang). Dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatan yang bersifat hajjiyat daripada yang bersifat tahsiniyat (pelengkap).
·        Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.

 8. Pentarjihan qiyas melalui faktor luar
Pentarjihan dengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan:
·        Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
·        Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil).
·        Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu' daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu' saja.
·        Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil
Dalam menentukan hukum pada suatu persoalan yang tidak hanya memiliki satu dalil yang mana antara dalil tersebut ada pertentangan maka hal ini menjadi bahasan ta'arud al-adhillah. Dalil-dalil tersebut berada pada tingkatan yang sama, artinya bisa antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.
Adapun dalam hal penyelesaian ketika ada dua dalil yang bertentangan para ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua kelompok, yakni para ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah. Mereka menetapkan beberapa tahapan dalam penyelesaian ta'arud al-adhillah. Dan penggunaan metode penyelesaian ta'arud al-adhillah harus dilakukan secara berurutan yaitu:
Jamu’ wa al-Taufiq, Tarjih, Nasakh, dan Tatsaqut al-dalilain.


3. Al Jam’u wa Al Taufiq
Bahasan ini cenderung ditinjau dari sisi keadilan periwayat suatu hadits. Al Jam’u wa Al Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikannya.Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan,maka menurut ulama’ Hanafiyah,dalil-dall itu dikumpulkan dan dikompromikan.Dengan demikian,hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya,karena kaidah fiqih mengatakan: Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. [5]
 
4. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain yaitu mengugurkan kedua dalil yang bertentanan. Apabila cara ketiga diatas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid,maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut,dalam arti ia merujuk dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yang bertentangan tersebut. Keempat cara di atas harus ditempuh secara berurutan.[6]
Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa dinasakh atau ditarjih atau dikompromikan adalah antara dua ayat,maka mujtahid boleh mencari dalil yang kualitasnya dibawah ayat alqur’an,yaitu as sunnah. Apabila kedua hadis yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentnagn dan cara-cara diatas tidak bisa juga ditempuh,maka ia boleh mengambil pendapat sahabat.
Hal ini ditujukan bagi mujtahid yang menjadikannya dalil syara’,sedangkan bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat dapat menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi).


BAB III
   PENUTUP

Kesimpulan

Pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Apabila pertentangan terjadi antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’i, sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni
Cara atau metode penyelesaian Ta’rud wa al-adillah dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dngan cara:
Nasakh, Tarjih, Al Jam’u wa Al Taufiq, Tasaqut Al-Dalilain.
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat. Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
Jam’u wa Taufiq, Tarjih, Naskh, Tasaqut Al-Dalilaini.
Menurut ulama’ Syafiiyah, malikiyah dan Zhahiriyah keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan. Dan untuk tawaquf hanya didukung pendapat muhaddis.



DAFTAR PUSTAKA

Syafe'i Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999, cet., ke-2
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu ushulul Fiqh ; Terjemah, Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, cet. ke-1
Rahman, Mukhtar Yahya dan Fachur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1998. cet. ke-4
Drs. Khairul Uman-Drs.H.A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia
           Bandung,2001

















[1] Drs. Khairul Uman-Drs.H.A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,Pustaka Setia Bandung, 2001. Hal.183


[2] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999, cet., ke-2. Hal.226
[3] Ibid, hal. 231
[4]  Ibid, hal. 242
[5] Ibid, hal. 228
[6]  Ibid, hal. 229

(i'jaz/mukjizat alquran)





BAB I
  PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Di dunia yang begitu luas ini, Allah SWT menciptakan berbagai makhluk, gunung-gunung yang besar, lautan yan besar dan berombak dan samudera yang luas. Demikianlah Allah menciptakan alam semesta ini atas kuasaNya dan kepada manusia, Allah memberikan beberapa keistimewaan. Di antaranya adalah kemampuan berpikir yang digunakan untuk membukakan rahasia-rahasia unsur-unsur kekuatan yang tersembunyi di alam ini.
Begitu pula para Nabi yang di utus oleh Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia terhadap pesan dan misi yang dibawa oleh Nabi. Dan mukjizat itu selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap nabi. Berdasarkan alasan di atas. Maka dari itu makalah ini membahas tentang i’jaz Al-Qur’an.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah:
1. Apakah pengertian i’jaz Al-Qur’an?
2. Macam-macam i’jaz Al-Qur’an itu?
3. Segi-segi I’jaz Al-Qur’an?
4. Bagaimanakah unsur-unsur dari mukjizat itu?

                                               
BAB II
PEMBAHASAN


2.1.  Pengertian I’jaz/Mukjizat Al-Quran

Kata i’jaz diambil dari kata kerja ajaza-i’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah:31 yang berbunyi:
Artinya: Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Kabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayit saudaranya. Berkata Kabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayit saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah:31)

Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukzis dan bila kemampuannya melemahkan pihak umat menonjol sehingga mampu membungkamkan lawan, dinamai ‘mukjizat’.  Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung kata mubalaghah (superlatife).[1]
Lebih jauh lagi, Al-Qaththan mendefinisikan i’jaz dengan ”memperlihatkan kebenaran Nabi SAW atas pengakuan kerasulannya[2], dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur’an”. Sedangkan pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mukjizat.

Dalam hal ini mukjizat didefinisikan oleh para pakar agama islam sebagai ”suatu hal atau  peristiwa luara biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya, sebagai tantangan bagi orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu.

Sedangkan Al-Qaththan  menyimpulkan bahwa ”Mukjizat itu merupakan suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi”[3].
 Jadi menurut Hamzah mendefinisikan bahwa ”i’jaz Al-Qur’an adalah ilmu Al-Qur’an yang membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan Al-Qur’an, sehingga dapat mengalahkan ahli-ahli Bahasa Arab, dan ahli-ahli lainnya.”

2.2  Segi-Segi I’jaz/Mukjizat Al-Qur’an

Dalam sebuah buku yang berjudul ”Al-I’jaz Qur’any fi Wujuhil Muktasyifah”,  hal ghaib), i’jaz tasyri’ (perundang-undangan), i’jaz ilmi, i’jaz lughawi (keindahan redaksi Al-Qur’an), i’jaz thibby (kedokteran), i’jaz falaky (astronomi), i’jaz adady (jumlah), i’jaz i’lami (informasi), i’jaz thabi’i (fisika) dan lain sebagainya.
Karena banyaknya berbagai macam i’jaz Al-Qur’an, maka dalam hal ini akan diuraikan beberapa bagian dari macam-macam i’jaz Al-Qur’an yang disebut dalam buku ”Al-I’jazal Qur’any fi wujuhil Muktasyifah”, antara lain:
                                                                                              
1. I’jaz Balaghy (berita tentang hal-hal yang ghaib)

Sebagian ulama’ mengatakan bahwa mukjizat Al-Qur’an adalah berita ghaib, contohnya adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa as, hal ini diceritakan dalam QS. Yunus: 92.
Artinya:  ”Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami” (QS. Yunus:92)

Berita-berita ghaib yang terdapat pada wahyu Allah SWT yakni Taurat, Injil, dan Al-Qur’an merupakan mukjizat. Berita ghaib dalam wahyu Allah SWT it membuat manusia takjub, karena akal manusia tidak mampu mencapai hal-hal tersebut.




2. I’jaz Lughawy (keindahan redaksi Al-Qur’an)


Menurut Shihab, memandang segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an dalam 3 aspek, di antaranya aspek keindahan dan ketelitian redaksinya. Dalam Al-Qur’an dijumpai sekian banyak contoh keseimbangan yang serasi antara kata-kata yang digunakan, yaitu:
a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya.
b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya.
c. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah yang menunjukkan akibatnya.



3. I’jaz ’Ilmi (Isyarat-Isyarat Ilmiah)

Di dalam Al-Qur’an, Allah mengumpulkan beberapa macam ilmu, di antaranya ilmu falak, ilmu hewan. Semuanya itu menimbulkan rasa takjub. Beginilah i’jaz Al-Qur’an ilmi itu betul-betul mendorong kaum muslimin untuk berfikir dan membukakan pintu-pintu ilmu pengetahuan.

Menurut Quraish Shihab, banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur’an, misalnya: [4]Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri dan cahaya bulan merupakan pantulan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
surat Yunus ayat 5.







Artinya :  Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus 5).


4. I’jaz Tasyri’I ( Hukum Ilahi yang Sempurna)
           
Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun,  undang-undang ekonomi politik, sosial masyarakat dan hukum ibadah.
Tentang akidah Al-Quran mengajak umat manusia pada akidah yang suci dan tinggi, yakni beriman kepada Allah Yang Maha Agung; mrnyatakan adanya nabi dan rasul serta mempercayai semua kitab samawi. Dalam bidang undang-undang, Al-Quran telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perdata, pidana politik, dan ekonomi.
 Al-Qur’an menetapkan peraturan pemerintah Islam, yakni pemerintah yang berdasarkan musyawarah dan persamaan serta mencegah kekuasaan pribadi.
 Firman Allah SWT:
”Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imron: 159)
Di dalam pemerintahan Islam, tasyri’i itu tidak boleh ditinggalkan. Al-Qur’an telah menetapkan bila keluar dari tasyri’ Islam itu hukumnya kafir, dzalim, dan fasik.
5. Susunan Kalimat
Al-Quran, hadis qudsi, dan hadis samawi sama-sama keluar dari mulut nabi, uslub (style) atau susunan katanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Quran jauh lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan dua yang lainnya. Al-Quran muncul dengan uslub yang begitu indah. Dalam uslub terkandung nilai-nilai istimewa dan tidak akan pernah ada pada ucapan manusia.[5]
Dalam Al-Quran misalnya, banyak ayat yang mengandung tasybih (penyerupaan) yang disusun dalam bentuk yang sangat indah dan memesona. Contohnya dalam surat Al-Qari’ah. Yang artinya : “ Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. Bulu yang di hambur-hamburkan sebagai gambaran dari gunung-gunung yang telah hancur lebur berserakan bagian-bagiannya.


6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa Al-quran banyak membuat orang Arab saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak manusia masuk islam. Bahkan, Umar bin Khaththab yang mulanya memusuhi dan berusaha membunuh nabi Muhammad SAW, ternyata masuk islam dan beriman kepada kerasulan Muhammad hanya karena mendengar petikan ayat-ayat Al-Quran. Susunan Al-Quran tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apapun.[6]

Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya, sehinga membuat kagum bukan saja orang mukmin, tetapi juga orang-orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik sering secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca kaum muslim. Kaum muslim di samping mengagumi kandungannya serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.[7]

2.3  Macam-Macam I’jaz/Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat dapat di bagi  dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjijat imaterial, logis, yang dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mujizat mereka bersifat material dan indrawi dalam artian keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung melalui indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnnya.[8]
Sejarah perahu nabi Nuh a.s. yang mampu bertahan di atas gelombang yang sangat dahsyat atas izin Allah, tidak terbakarnya nabi Ibrahim a.s., tongkat nabi Musa a.s. yang berubah wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain.
Ke semuanya bersifat material indrawi , sekaligus terbatas pada lokasi tempat nabi berada dan berakhir dengan wafatnya tiap-tiap nabi. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW, yang sifattnya bukkan indrawi atau material, tetapi dapat di pahami akal. Karena sifatnya yang demikian tidak di batasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan  akalnya dimanapun dan kapanpun.




2.4  Unsur-unsur mukjizat Al-Quran

Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, bahwa segi-segi mukjizat adalah:

1.    Hal atau peristiwa yang luar biasa

Peristiwa-peristiwa alam, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat, karena peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang biasa, yang dimaksud dengan luar biasa. Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum.

2.    Terjadi atau Dipaparkan oleh Seorang Nabi.
Apabila keluarbiasaan bukan dari seoranag Nabi, tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat melainkan irhash dan keluarbiasaan yang terjadi pada seseorang yang taat dan dicintai oleh Allah SWT dinamakan karomah.
Bertitik tolak dari keyakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, maka jelas tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalnya.
3.    Mengandung tantangan terhadap mereka yang meragukan nabi

Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan nabi. Kalau misalnya ia berkata ”batu ini dapat berbicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa ”sang penantang berbohong” maka keluarbiasaan ini bukanlah mukjizat, tetapi Ihanah atau Istidraj.







4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani

Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa, berarti pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu diketahui bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan tiap-tiap nabi berupa hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian utamanya.
Al-Quran digunakan oleh nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak percaya terhadap kebenaran Al-Quran sebagai firman Allah (bukan ciptaan manusia) dan risalah serta ajaran yang dibawanya.































BAB III
PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Dari kesimpulan makalah ini, dapat disimpulkan bahwa i’jaz Al-Qur’an merupakan ilmu Al-Qur’an yang membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan Al-Qur’an dan menjadikan tidak mampu atau melemahkan bagi penantangnya. Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi. Terdapat 6 macam-macam mukjizat, yaitu:
gaya bahasa, susunan kalimat, hukum ilahi yang sempurna, ketelitian redaksinya, berita tentang hal-hal yang gaib, dan isyarat-isyarat ilmiah.






























DAFTAR PUSTAKA



Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tafsir.
Bandung: CV. Pustaka Setia.

Qaththan, Manna’al. 1995. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2.
Jakarta: PT. Rineka Cipta

Hamzah, Muchottob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif.
Jogjakarta: Gama Media







[1]. M, Quraish Shihab, ‘Pengantar’, dalam Daud Al-Aththar, perspektif baru ilmu Al quran, Pustaka
    Hidayah,Bandung,1994, hlm.10.


[2] Said Agil Husain,Al-Munawar, I’jaz Al-Quran dan Metodologi Tafsir, Dimas. Semaraang,1994,
    hlm 1

[3] Manna, Al Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Quran. Masyurat Al-Ashr Al Hadist, ttp 1973, hlm 259.
[4] ibid., hlm. 190-191.
[5] Shubi Shalih, mabahits fi ‘ulum Al-Quran, Dar Al-Ilm li Al-Malaya, Beirut, 1988,hlm 320.
[6]Shihab, mukjizat …. Hlm. 35

[7] .  Ibid, hlm 36: bandingkan dengan Abdul Kadir ‘Atha, Azhamat Al-Qur’an,Dr Al-kutub Al-Ilmiah,
     bairut,t.t, hlm. 55.

[8] Shihab, mukjizat …, hlm 36-37.